Dugaan Mark-Up Bansos di Samosir, Bumdes Baru Dituding Jadi Alat Penyelewengan

RILISINFO.COM, Jakarta – Perwakilan Rakyat Pulau Samosir, Sumatera Utara, yang tergabung dalam Aliansi Perantau Asal Samosir (APAS) mendatangi kantor Jaksa Agung Republik Indonesia Burhanuddin di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (23/6/2025).

Kedatangan mereka untuk menyampaikan adanya dugaan tindak pidana korupsi Dana Bansos di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.

Koordinator Aliansi Aliansi Perantau Asal Samosir (APAS), Wulan Rygyar Nainggolan, menyampaikan, diduga telah terjadi tindak pidana korupsi dana pemulihan ekonomi pasca banjir bandang di Desa Kenegerian Sihotang tahun 2024 dengan anggaran mencapai 1,5 miliar.

Tindakan tersebut diduga dilakukan oleh oknum Kepala Dinas (Kadis) Sosial PMD Kabupaten Samosir dengan Inisial AKK, Oknum Direktur Bumdes Marsada Tahi dengan inisial PS, Kepala Desa Siparmahan, Kepala Desa Sampur Toba, dan Kepala Desa Dolok Raja yang masing-masing telah menerima komisi dari mark up harga kurang lebih 20 persen sampai 30 persen dari harga barang yang sebenarnya.

Koordinator Aliansi Aliansi Perantau Asal Samosir (APAS), Wulan Rygyar Nainggolan, mendapat informasi bahwa bantuan sosial harusnya diberikan kepada 301 Kepala Keluarga dengan nominal sebesar Rp. 5.000.000/KK dengan pembagian per desa :
1. Desa Siparmahan 160KK
2. Desa Sampur Toba 64KK
3. Desa Dolo Raja 77KK

“Seharusnya bantuan sosial tersebut dikirimkan langsung ke 301 Rekening Bank Mandiri yang sudah dibuka untuk masing-masing keluarga penerima bantuan. Akan tetapi didapati Oknum Kadis Sosial Kabupaten Samosir mengarahkan agar 301 Keluarga penerima tersebut membeli barang kepada Bumdes Marsada Tahi,” ungkap Koordinator Aliansi Aliansi Perantau Asal Samosir (APAS), Wulan Rygyar Nainggolan, dalam siaran persnya yang diterima Senin, (23/6/2025).

“Di mana telah disiapkan formulir pesanan barang sehingga seolah-olah pembelian barang tersebut merupakan inisiatif dari 301 Keluarga penerima sehingga uang dari pemerintah pusat setelah masuk ke rekening keluarga penerima bantuan kemudian ditransfer ke rekening Bumdes Marsada Tahi yang nominalnya mencapai 1,5 miliar,” lanjut Wulan Rygyar Nainggolan.

Dia melanjutkan, dana yang seharusnya dapat digunakan oleh keluarga yang terdampak bencana, dan menjadi tonggak pemulihan ekonomi justru diarahkan sepenuhnya kepada Bumdes Marsada Tahi.

Jika pada akhirnya dana bantuan tersebut digunakan untuk keperluan pertanian seperti pengadaan pupuk dan alat mesin pertanian, maka Bumdes Marsada Tahi bukan satu-satunya pilihan masyarakat yang terdampak bencana.

“Sebab jika mengacu pada jarak, efisiensi dan efektivitas distribusi dan harga maka terdapat selisih harga yang tinggi dengan UMKM yang ada di sekitar desa Sampur Toba dan Dolok Raja. Pembelian ke Bumdes Marsada Tahi tersebut diduga diarahkan oleh Kadis Sosial Kabupaten Samosir,” lanjutnya.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Aliansi Perantau Asal Samosir (APAS), Bumdes Marsada Tahi diresmikan oleh Bupati Samosir Vandiko Gultom pada tanggal 31 Juli 2024.

“Sehingga kami menduga Bumdes tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup dalam pengadaan barang dan jasa dalam jumlah besar khususnya dalam pengelolaan bantuan bencana. Stok barang yang terbatas, dan belum memadai sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk sampai dari distributor ke Bumdes tersebut,” beber Wulan Rygyar Nainggolan.

“Aliansi Perantau Asal Samosir juga mendapati perbedaan yang cukup signifikan dengan toko atau UMKM yang ada di Kabupaten Samosir,  sehingga kami menduga adanya mark up dalam penentuan harga jual barang di Bumdes Marsada Tahi,” ungkapnya lagi.

Beberapa contoh harga yang kurang masuk akal adalah harga satu ekor anak babi di pasar/UMKM Samosir itu Rp. 800.000 per ekor sedangkan Bumdes Marsada Tahi menjual dengan Harga Rp.1.200.000 per ekor.

Kualitas barang yang dijual di Bumdes Marsada Tahi juga cukup buruk, dalam perkiraan kami, maka total bantuan yang diterima Masyarakat hanya berkisar antara 3-4 juta dari total bantuan Rp. 5.000.000 yang seharusnya diterima.

“Kami juga menemukan fakta bahwa masyarakat lebih membutuhkan uang tunai daripada alat mesin pertanian dan pupuk, karena semua lahan pertanian rusak dan belum dapat dikelola pasca bencana alam,” ujar Wulan Rygyar Nainggolan.

Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, lanjut dia, pihaknya mendapati perbuatan tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 4 Tahun 2015 tentang bantuan langsung berupa uang tunai bagi korban bencana sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Menteri Sosial Nomor 10 Tahun 2020 sebagai berikut :
Pasal 3 : Bantuan langsung diberikan kepada korban bencana dalam bentuk uang tunai untuk pemulihan dan penguatan sosial.
Pasal 4 :
1) Bantuan langsung diberikan oleh Menteri Sosial melalui transfer kepada korban bencana.
2) Bantuan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai kemampuan keuangan negara.
Pasal 24:
1) Indeks bantuan penguatan ekonomi korban paling banyak Rp. 5.000.000 per Kartu Keluarga.
2) Jenis bantuan penguatan ekonomi korban tergantung dari kebutuhan usaha keluarga korban bencana.
3) Bantuan berupa uang tunai disalurkan langsung kepada keluarga oleh Kementerian Sosial melalui rekening keluarga korban bencana.
4) Jika bantuan dilakukan melalui bantuan tunai melalui cash dan transfer, pengadaan bantuan dilakukan sendiri oleh keluarga sesuai kebutuhan jenis usaha.
5) Pemanfaatan dan penggunaan bantuan harus diperuntukan untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi dasar dan kebutuhan lainnya yang dapat memberikan jaminan kehidupan secara layak.

“Kami Aliansi Perantau Asal Samosir (APAS) menemukan fakta bahwa, pertama, pembagian sembako untuk korban bencana alam bertentangan dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 4 Tahun 2015 tentang bantuan langsung berupa uang tunai bagi korban bencana sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Menteri Sosial Nomor 10 Tahun 2020,” tegasnya.

Kedua, Pemkab Samosir sengaja melakukan pembagian bantuan korban bencana alam menjelang pilkada karena diduga berkaitan dengan pemenangan calon bupati petahana.

Ketiga, semua perangkat daerah yang terlibat dalam pembagian bantuan bencana alam tersebut diduga diarahkan oleh calon bupati petahana.

“Keempat, diduga telah terjadi permufakatan jahat antara Bupati Petahana dengan Pihak Kejari Samosir sehingga penyelidikan kasus tersebut mangkrak (Mandeg), maka Kejaksaan Agung diminta untuk mengambil alih penanganan dugaan tindak pidana korupsi dana bansos di Kabupaten Samosir,” tandas Koordinator Aliansi Aliansi Perantau Asal Samosir (APAS), Wulan Rygyar Nainggolan.(*)