Jendela Kami Menghadap Monas

RILISINFO.COM, Jakarta – Puncak Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 Jakarta berlangsung Minggu, 22 Juni 2025. Warga kota berdesak-desakan di pintu masuk Lapangan Banteng, tempat acara berlangsung.

Gubernur Jakarta Pramono Anung dan Wakilnya, Rano Karno hadir di Lapangan Banteng berjarak sekitar dua kilometer dari Tugu Monumen Nasional (Monas).

Pucuk Monas yang berwarna keemas-emasan tampak jelas dari tempat acara. Apa yang dipikirkan orang tentang Monas yang menjadi simbol Jakarta adalah tidak jauh dari kemegahan, dan problem Jakarta dan penduduknya.

Bagi perempuan seperti Dyah Kristiningsih yang bulan kelahirannya sama dengan bulan ulang tahun Jakarta, sudah kenyang merasakan suka dan duka hidup di Jakarta.

Setiap hari ia berada di sekitar Monas. “Bagi saya setiap membuka jendela kantor, langsung melihat Monas. Tugu Monas itu berhadap-hadapan dengan jendela kantor kami,” kata Dyah yang bekerja di kantor pusat Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jalan Veteran II, sekitar satu kilometer dari tugu Monas.

Di sekitar Monas, antara lain ada istana Presiden RI, Kementerian Sekretariat Negara, Markas Besar TNI Angkatan Darat, Kementerian Dalam Negeri, dan Kantor Gubernur Jakarta.

Karena Dyah hampir sehari-hari ada di sekitar Monas, ia melihat sisi-sisi gelap lingkungan Monas. Dyah membiarkan, karena dia merasa bukan petugas, dan juga bukan polisi moral. Para juru parkir juga bersikap demikian.

“Biarin saja. Petugas juga membiarkan,” katanya. Barangkali itu lah salah satu wajah Jakarta yang manusiawi.

Ketika ditanya benarkan di Jakarta warganya harus bekerja keras? Dyah membenarkan tinggal di Jakarta kalau mau sukses harus bekerja keras. “Sebaiknya punya bakat bidang tertentu, dan gigih. Kalau santai-santai saja ya sulit,” tuturnya.

Dyah sendiri harus mengalami kehidupan seperti itu. Tetapi sebagai perempuan kadang-kadang harus galak terhadap pria yang coba-coba jahil, towal-towel.

“Kalau tidak dikerasin bisa kebablasan,” kata Dyah yang enggan memberi contoh.

Perempuan satu ini dapat dibilang tangguh, bakat dan keterampilannya berkembang, dan fleksibel, tetapi keras terhadap sesuatu yang prinsip.

Sederet sifat positif yang ia miliki, membawanya mampu bertahan hidup di Jakarta yang kini seperti hutan beton. Gedung-gedung jangkung di mana-mana, jalan melingkar-lingkar seperti obat nyamuk.

“Penduduk asli kelahiran Jakarta pun belum tentu hapal jalan. Banyak yang harus menggunakan peta aplikasi internet sebagai penunjuk jalan,” tuturnya.

Dyah Kristiningsih kelahiran 50 tahun silam, kini memilih tinggal di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, walaupun kantornya di sekitar Monas, menyiapkan tempat tinggal di Jakarta.

Berbekal pendidikan perpajakan di Universitas Trisakti, ia menerapkan ilmunya untuk membantu orang-orang dan perusahaan yang kesulitan membuat laporan pajak tahunan.

Belakangan ini dia juga banyak membantu menyusun laporan pajak beberapa perusahaan. Dyah tidak pernah mematok biaya membuat pelaporan pajak.

Untuk bisa menembus berbagai kelangan yang sebagian malas dengan urusan pajak, Dyah menyadari dia harus bisa bergaul dengan fleksibel atau luwes (bahasa Jawa).

“Gigih dan tangguh, itu pasti. Tetapi jangan lupa kita harus punya bakat,” kata Dyah yang bertubuh semampai. Dia juga sering diminta perusahaan asing, apabila ada masalah terkait pajak dan keimigrasian.

“Bakat yang harus dimiliki ya bergaul itu sendiri, selain bakat dalam suatu pekerjaan, atau dalam banyak hal,” tutur Dyah.

Beberapa tahun terakhir dia bekerja di kantor pusat Serikat Media Siber Indonesia. Kemampuan menulisnya pun menjadi semakin terasah karena di kantor tersebut bergaul dengan kalangan pengusaha pers siber yang rata-rata mereka adalah wartawan.

Bahkan karena melihat kecakapannya, dia diserahi mengelola media online. Ini pekerjaan yang tidak main-main.
(M. Nasir Asnawi)