Polemik Royalti Musik di Ruang Publik: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Beban Pelaku Usaha
RILISINFO.COM, Jakarta – Ditengah gemerlap pusat-pusat keramaian Jakarta saat akhir pekan, musik dari para musisi ternama Indonesia mengalun tanpa henti. Dari restoran dan butik modern hingga lorong-lorong pusat perbelanjaan, irama musik menjadi latar yang menyatu dengan kehidupan urban. Namun, di balik harmoni yang terdengar, muncul sebuah pertanyaan penting: apakah pemutaran musik ini sekadar pemanis suasana ataukah sebuah tindakan komersial bernilai miliaran rupiah yang memunculkan persoalan hukum dan ekonomi?
Kewajiban pembayaran royalti atas pemutaran musik di ruang public, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, kembali menjadi perbincangan hangat. Regulasi yang bertujuan mulia untuk melindungi hak ekonomi pencipta lagu ini menuai kritik dari kalangan pelaku usaha dan praktisi hukum. Mereka menilai bahwa kebijakan tersebut multitafsir, bahkan berpotensi memberatkan iklim usaha.
Salah satu suara kritis datang dari IGN Agung Y. Endrawan, S.H., M.H., CCFA., praktisi hukum dan kandidat doktor Ilmu Kebijakan Publik, juga mantan Analis Senior Hukum OJK dan mantan Direktur Kebijakan Bakamla. Agung menyampaikan analisisnya dari sisi hukum positif dan keadilan substantif..
“Dengan segala hormat pada semangat undang-undang, mari kita telaah secara utuh unsur-unsur dari definisi ‘penggunaan secara komersial’ dalam Pasal 1 butir 24,” yang mana “Pasal ini menyebut bahwa penggunaan komersial adalah pemanfaatan ciptaan dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.” jelas Agung, di Jakarta, Minggu (3/8/25).
Agung menjabarkan lebih spesifik, bahwa terdapat tiga elemen kunci: (1) adanya perbuatan pemanfaatan ciptaan (misalnya memutar musik), (2) adanya tujuan memperoleh keuntungan ekonomi, dan (3) asal keuntungan dapat berasal dari berbagai sumber atau langsung bersifat berbayar. Menurutnya, terpenuhinya dua unsur pertama dengan salah satu jalur keuntungan, sudah cukup untuk dikategorikan sebagai penggunaan komersial.
Namun, tambah Agung, dalam perdebatan saat ini muncul pada frasa “dari berbagai sumber”. Hal ini penerapan kebutuhan dari tafsir hukum sangatlah menjadi penting untuk dipahami.
“Saat ini, penafsiran yang digunakan adalah tafsir ekstensif,” “Misalnya, pada pusat perbelanjaan, ‘berbagai sumber’ dimaknai sebagai uang sewa dari tenant. Bahkan untuk restoran, keuntungan dari penjualan makanan dianggap sebagai bentuk keuntungan dari musik latar.” lanjut Agung.
Agung menyebut perluasan tafsir ini sebagai bentuk pergeseran fokus: dari pemanfaatan langsung atas musik ke pada lokasi usaha secara keseluruhan. Menurutnya, tafsir seperti ini mengabaikan prinsip kausalitas langsung antara musik dan keuntungan.
“Tafsir yang lebih masuk akal adalah tafsir restriktif artinya, keuntungan ekonomi harus berasal langsung dari pemanfaatan musik. Misalnya, pertunjukan musik gratis yang mendapatkan sponsor adalah contoh nyata hubungan sebab-akibat,” tegasnya.
“Sebaliknya, tak ada bukti yuridis bahwa seseorang membeli makanan di restoran karena musik latar.” tambahnya.
Untuk menguji rasionalitas tafsir saat ini, Agung mengajak publik untuk merefleksikan sejumlah skenario umum yang kerap terjadi di ruang-ruang komersial pada pusat perbelanjaan atau mal yang biasanya memutar musik sebagai pengisi suasana.
“Apakah pelanggan restoran akan berhenti datang jika musik latar dihilangkan, sementara daya tarik utamanya adalah rasa makanannya? Apakah pengunjung mal akan batal berbelanja hanya karena tidak ada musik latar, padahal tujuannya adalah mengunjungi toko tertentu?” imbuhnya.
Kekhawatiran lain yang diajukan Agung adalah efek balik terhadap industri musik itu sendiri. Bila pelaku usaha enggan memutar musik berlisensi, promosi bagi karya musik pun berkurang drastis.
“Kalau tafsir ini dipaksakan, dikhawatirkan justru pelaku usaha akan menghindari penggunaan musik berlisensi. Ini merugikan musisi karena kehilangan medium eksposur paling efektif,” jelasnya.
Namun, di sisi lain, kalangan musisi profesional, menganggap royalti sebagai bentuk penghargaan yang sah atas karya mereka.
“Bagi kami, ini bukan soal memperkaya diri, tapi soal pengakuan,” “Ketika karya kami dipakai untuk mempercantik suasana usaha komersial, maka wajar bila kami mendapat imbalan.” ujar seorang perwakilan asosiasi musisi, yang tidak mau disebutkan namanya.
Agung juga menyoroti sisi hukum pidana dalam UU Hak Cipta, mengingat terdapat ancaman sanksi pidana bagi pelanggaran royalti. Ia menekankan bahwa dalam hukum pidana, terdapat dua elemen penting: perbuatan melawan hukum (actus reus) dan niat jahat (mens rea).
“Memutar musik adalah actus reus-nya, itu fakta. Tapi apakah ada mens rea, niat untuk meraup keuntungan secara langsung dari karya cipta? Atau apakah tujuannya hanya menciptakan suasana nyaman?” tanyanya.
Agung menegaskan bahwa pidana seharusnya menjadi jalan terakhir (ultimum remedium), dan tidak diberlakukan terhadap kasus-kasus yang masuk area abu-abu dalam tafsir hukum.
“Kalau unsur mens rea-nya tidak jelas, pemidanaan justru bisa menimbulkan ketidakadilan hukum dan sosial,” pungkas Agung.
Diketahui polemik soal royalti musik ini memperlihatkan bahwa hukum hak cipta bukan hanya soal perlindungan kreator, tapi juga menyangkut ekosistem keadilan, keseimbangan bisnis, dan kepastian hukum. Diperlukan perbaikan tafsir dan pendekatan yang lebih proporsional agar tujuan mulia regulasi ini tidak justru menciptakan ironi bagi semua pihak yang terlibat.(*)