Warga Bangkonol Tolak Pengiriman Sampah dari Tangsel ke TPA Pandeglang

RILISINFO.COM, Jakarta – Pelaksanaan kerja sama pengelolaan sampah antara Pemerintah Kabupaten Pandeglang dan Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) memantik kemarahan warga Desa Bangkonol, Kecamatan Kroncong. Dalam sebuah aksi damai yang digelar di Sekretariat DPRD Pandeglang pada Senin (4/7/2025), warga menyuarakan penolakan mereka terhadap rencana pengiriman 300 hingga 500 ton sampah per hari ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Bangkonol.

Bagi warga, kehadiran ribuan ton sampah dari luar daerah bukan solusi, melainkan ancaman nyata. Selain dinilai berpotensi menimbulkan pencemaran dan bau menyengat, mereka juga menganggap kebijakan tersebut dijalankan tanpa pelibatan masyarakat yang terdampak langsung.

“Tidak ada satu pun dari kami yang setuju. Kami hanya tahu dari kabar yang beredar, tanpa ada sosialisasi atau undangan resmi. Ini namanya bukan partisipasi, tapi pemaksaan,” ujar seorang warga dalam orasinya.

Infrastruktur Tak Memadai, Kajian Lingkungan Dipertanyakan

Sorotan tajam juga datang dari kalangan pemerhati lingkungan. Ketua Umum Go Green Go Clean Indonesia, Dr. Ir. Justiani, M.Sc., menilai Pemkab Pandeglang terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan aspek teknis dan ekologis secara menyeluruh.

“TPA Bangkonol belum siap menampung sampah dalam skala sebesar itu. Apalagi kalau bicara limbah dari luar daerah, risikonya jauh lebih besar. Bukannya menyelesaikan masalah, ini justru bisa memperparah kerusakan lingkungan yang sudah ada,” ujarnya, Rabu (6/8/2025).

Justiani menekankan pentingnya penerapan sistem sanitary landfill yang sesuai standar. Tanpa itu, TPA hanya akan menjadi ladang pencemaran baru yang mengancam kesehatan warga sekitar. Ia juga menyoroti absennya instalasi pengolahan air lindi, cairan berbahaya dari tumpukan sampah yang dapat mencemari air tanah dan sungai.

“Kalau tidak ada leachate treatment plant, artinya air lindi bisa langsung meresap atau mengalir ke badan air. Itu sangat berbahaya,” tegasnya.

Negara Lain Tinggalkan Landfill, Beralih ke Waste to Energy

Lebih jauh, Justiani membandingkan kondisi Indonesia dengan negara-negara yang telah meninggalkan metode landfill konvensional. Mereka telah beralih ke sistem Waste to Energy (WTE) yang memungkinkan sampah diolah menjadi energi, didukung oleh perubahan perilaku masyarakat yang secara aktif memilah sampah untuk didaur ulang atau dimonetisasi melalui konsep seperti ATM Sampah.

“Di negara-negara tersebut, sistemnya sudah berbasis teknologi dan dipantau secara end-to-end melalui manajemen berbasis telematika. Sampah tidak lagi menjadi beban, tapi sumber daya,” jelasnya.

Sungai Tercemar, Lalat Serbu Permukiman

Kekhawatiran warga bukannya tanpa alasan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa aliran sungai di sekitar TPA mulai menunjukkan tanda-tanda pencemaran. Populasi lalat pun meningkat drastis, masuk hingga ke dalam rumah warga. Warga khawatir situasi ini akan memicu penyebaran penyakit.

Ironisnya, di tengah gelombang penolakan, Wakil Bupati Pandeglang Iing Andri Supriadi justru menyatakan bahwa warga Bangkonol mendukung kerja sama tersebut. Pernyataan ini memicu kemarahan masyarakat yang merasa suara mereka tak pernah didengar.

“Kami merasa dibohongi. Jangan jadikan kami tameng politik atau angka dalam laporan,” tegas salah satu koordinator aksi.

Desakan Evaluasi dan Peninjauan Ulang

Melihat eskalasi penolakan di lapangan, Justiani menyerukan agar Pemkab Pandeglang segera mengevaluasi kembali proyek kerja sama tersebut. Ia menegaskan bahwa kebijakan lingkungan harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan partisipasi publik.

“Kalau masyarakat tidak dilibatkan sejak awal, kebijakan sebesar ini akan terus memicu resistensi. Lebih parah lagi, dampak ekologisnya bisa bersifat jangka panjang dan sulit dipulihkan,” pungkasnya.(*)