Pendidikan di Jakarta Selatan: Antara Kemajuan dan Ketimpangan
Oleh: Muhammad Daffa Zaki
Jakarta Selatan kerap digambarkan sebagai kawasan paling progresif di antara lima kota administratif DKI Jakarta. Ini bukan tanpa alasan. Dari gedung-gedung kampus megah, sekolah internasional, hingga lulusan perguruan tinggi yang terus meningkat, Jakarta Selatan memang tampak seperti etalase pendidikan urban yang ideal.
Data BPS DKI Jakarta akhir 2024 menunjukkan bahwa 20,12% penduduk Jakarta Selatan telah menyelesaikan pendidikan tinggi. Angka ini adalah yang tertinggi di seluruh DKI. Dari 2,33 juta penduduk, hampir setengah juta adalah lulusan S1 hingga S3. Jumlah satuan pendidikan formal pun mencengangkan 1.375 unit dari TK hingga SMA/SMK, ditambah 48 perguruan tinggi swasta. Di permukaan, semuanya terlihat menggembirakan.
Namun, jika kita melihat lebih dalam, ada potret lain yang tak kalah penting: ketimpangan. Di balik angka-angka prestisius itu, masih ada 15,84% warga yang belum pernah mengenyam bangku sekolah. Lebih dari seperempat hanya tamat SD atau SMP. Mereka yang tinggal di wilayah padat seperti Pancoran, Mampang Prapatan, atau Pasar Minggu, tak selalu punya akses yang sama dengan mereka yang tinggal di Kebayoran Baru atau Tebet.
Pada sisi lain, kualitas pendidikan pun belum merata. Sekolah-sekolah di kawasan elite punya fasilitas lengkap dan guru berkualitas. Sementara sekolah di pinggiran kerap kekurangan laboratorium, koneksi internet, bahkan guru dengan kompetensi memadai. Sistem zonasi yang diharapkan jadi solusi, justru kadang mempertegas kesenjangan itu.
Belum lagi tantangan kekinian: minat baca yang rendah, literasi digital yang timpang, serta krisis pendidikan karakter. Kita mencetak banyak siswa pintar secara akademik, tapi lemah dalam empati, tanggung jawab, dan daya tahan terhadap tekanan sosial. Ini gejala yang serius dalam dunia pendidikan modern.
Muhammad Daffa Zaki, Ketua Bidang Eksternal HMI Koordinator Komisariat PTIQ-IIQ Cabang Jakarta Selatan, menekankan bahwa kampus dan mahasiswa harus terlibat aktif dalam menjawab masalah ini. “Kampus tidak boleh hanya jadi menara gading. Mahasiswa harus hadir di tengah masyarakat, menjadi bagian dari solusi pendidikan yang merata dan bermakna,” tegasnya.
Solusi pendidikan Jakarta Selatan tidak cukup dengan pembangunan fisik atau peningkatan angka kelulusan semata. Diperlukan pendekatan menyeluruh:
- Penguatan kualitas guru dan kurikulum yang sesuai dengan konteks sosial
- Pemerataan fasilitas belajar, terutama di wilayah padat dan pinggiran
- Kolaborasi nyata antara pemerintah, kampus, dan dunia usaha untuk program vokasi
- Dan tentu saja, pendidikan karakter yang membentuk mentalitas unggul dan empatik
Sudah saatnya kita membongkar mitos bahwa Jakarta Selatan adalah wilayah yang “sudah selesai” dalam urusan pendidikan. Sebab kemajuan yang tidak merata, hanya akan memperluas jurang sosial. Yang kita butuhkan hari ini adalah pendidikan yang bukan hanya mencerdaskan otak, tapi juga menumbuhkan empati, solidaritas, dan kesadaran sosial.
Jika itu terwujud, Jakarta Selatan bisa menjadi model kota berpendidikan: bukan hanya tinggi secara statistik, tapi juga unggul dalam kualitas manusianya.
(*)