Rektor Universitas Widya Mataram Prof. Edy Suandi Hamid Ingatkan Risiko Pertumbuhan Ekonomi yang Tidak Inklusif

‎RILISINFO.COM, Jogja – Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, menegaskan bahwa arah pembangunan nasional ke depan tidak cukup hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi.

‎“Tantangan terbesar Indonesia bukan sekadar tumbuh tinggi, tetapi bagaimana memastikan pertumbuhan itu berkualitas dan berkelanjutan,” kata Prof. Edy saat memberikan keynote speech dalam Seminar Nasional Outlook Indonesia 2026 di Auditorium Gedung Piwulangan UWM, Selasa, 16 Desember.

‎Menurut dia, fokus jangka pendek yang berlebihan berisiko mengabaikan fondasi ekonomi jangka panjang.

‎Dalam paparannya, Prof. Edy mengingatkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025–2026 berada di kisaran 4,8 hingga 5,3 persen.

‎Angka itu, kata dia, harus dibaca secara hati-hati di tengah ketidakpastian global.

‎“Dinamika geopolitik, perlambatan ekonomi dunia, hingga potensi perang dagang masih membayangi. Karena itu, optimisme pemerintah harus dibangun di atas data dan realitas,” ujarnya.

‎Ia menambahkan, “Pertumbuhan tinggi tidak otomatis berarti kesejahteraan masyarakat meningkat.”

‎Prof. Edy juga menyoroti risiko pertumbuhan yang bertumpu pada sektor padat modal dan kelompok ekonomi besar.

‎“Kalau manfaat pertumbuhan hanya dinikmati segelintir pihak, ketimpangan akan semakin lebar,” katanya.

‎Ia menekankan bahwa pertumbuhan berkualitas harus mampu menciptakan lapangan kerja, menurunkan kemiskinan, serta mempersempit jurang ketimpangan.

‎“Pertumbuhan harus pro-job, pro-poor, dan pro-environment,” ucap mantan Ketua Forum Rektor Indonesia tersebut.

‎Mengaitkan perspektif jangka panjang, Prof. Edy menyinggung proyeksi Goldman Sachs yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia pada 2050.

‎Namun ia mengingatkan, “Prediksi itu adalah peluang sekaligus peringatan.” Tanpa reformasi struktural, peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan UMKM, serta tata kelola ekonomi dan hukum yang adil, ia menilai bonus demografi bisa berubah menjadi beban.

‎“Universitas harus hadir memberi analisis objektif dan rekomendasi kebijakan, bukan sekadar mengejar angka pertumbuhan,” pungkasnya.

(waw)