Dosen Unair: Kebijakan ERP tak boleh Diterapkan dengan Gegabah

RILISINFO.COM – Jakarta, Rencana pemberlakuan  electronic road pricing  (ERP) atau sistem jalan berbayar di ibu kota tengah mencuat baru-baru ini. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyatakan, pemberlakuan kebijakan tersebut bertujuan untuk mengendalikan kemacetan lalu lintas yang terus meningkat. 

Menanggapi hal tersebut, dosen kajian politik tata ruang dan transportasi Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Siti Aminah Dra MA menyatakan bahwa kebijakan ERP tidak boleh diterapkan dengan gegabah.

Dikutip dari unair.ac.id , Dr Siti Aminah mengatakan, pemberlakuan ERP memerlukan kajian dari berbagai aspek, tidak hanya berfokus untuk memecahkan masalah kemacetan dan hitungan ekonomi bisnis. Namun, terdapat aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan. 

“Aspek energi, keberlanjutan pembangunan, aspek perilaku pengguna mobil, aspek mobilitas, dan lain-lain. ERP itu berada dalam skema kebijakan yang besar yaitu SDGs (Sustainable Development Goals, Red),” tulisnya.

Aminah menerangkan bahwa sejak tahun 1992, pemerintah DKI Jakarta telah berupaya mencari solusi untuk memecahkan kemacetan lalu lintas tanpa merugikan pengguna jalan dan pemilik kendaraan bermotor, baik mobil ataupun sepeda motor.

Kebijakan tersebut kemudian dikenal dengan istilah ‘3 in 1’. Kendati demikian, masyarakat mampu menyiasati kebijakan tersebut dengan berbagi kendaraan bersama orang lain agar tidak kena tilang. Selain itu, muncul banyak joki sementara penumpang agar dapat melalui ruas jalan-jalan protokol.

“Semua penduduk punya hak untuk menggunakan jalan dan melayani kebutuhan untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain. Jalan itu barang publik, jika jalan sudah dijual ke masyarakat atas nama mengatasi kemacetan, mengurangi polusi, bagaimana dengan kehadiran taksi-taksi  online ? Berapa harga yang harus dibayar oleh pengguna taksi?” Jelasnya.

“Apakah keadilan dalam mobilitas tidak terkirim? ERP ini bisa dimaknai sebagai eksklusi sosial masyarakat dari jalan raya dan transportasi pribadi. Belajar dari pengalaman kota-kota besar di negara lain sangat penting,” sambungnya.

Lebih lanjut, dosen Ilmu Politik menyatakan bahwa ERP bukan hanya skema yang muncul secara politis maupun administratif. Berbagai solusi dibutuhkan untuk mengatasi krisis lingkungan yang menantang perkembangan Jakarta. Sementara di sisi lain, pandangan dan kontroversi sensitif terkait privasi individu dalam melakukan mobilitas menjadi agenda tersendiri yang juga perlu mendapat perhatian dari pemangku kebijakan. 

“Dengan demikian, untuk menerapkan ERP di Jakarta, masyarakat harus terus menyadari akan pentingnya program ERP yang dapat berjalan secara efisien dan berdampak positif terhadap keselamatan, kesejahteraan, kesehatan, jaminan pendapatan, kesempatan kerja, dan lain sebagainya,” katanya.

“Lebih dari itu, ERP juga berlaku sebagai kemacetan tarif atau pajak sebagai kebijakan publik yang diperlukan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang, kualitas hidup, dan kesejahteraan penduduk. (*)