Skandal RPTKA: KPK Telusuri Rekening Penampungan Uang Ilegal di Kemenaker
RILISINFO.COM, Jakarta — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan dengan menelusuri rekening penampungan serta besaran uang yang diminta kepada para agen tenaga kerja asing. Pemeriksaan dilakukan terhadap lima saksi pada Senin (16/6/2025).
”Semuanya didalami terkait besaran permintaan uang kepada para agen TKA dan rekening penampungan yang digunakan oleh para tersangka,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Kelima saksi tersebut terdiri dari Eden Nurjaman (wiraswasta), Muller Silalahi (Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja era 2005–2014), serta Jagamastra (pensiunan ASN Kemenaker). Dua lainnya adalah Jadi Erikson Pandapotan Sinambela (pegawai Direktorat Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, periode 2023–2025), dan Direktur Utama PT Dienka Utama, Barkah Adi Santosa.
Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pendalaman atas perkara dugaan korupsi yang melibatkan delapan tersangka yang sebelumnya diumumkan KPK pada 5 Juni lalu. Para tersangka merupakan aparatur sipil negara di lingkungan Kemenaker, yakni Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut penyidik, dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, para tersangka diduga mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan terhadap para pemohon izin RPTKA.
RPTKA merupakan dokumen wajib yang harus dimiliki sebelum tenaga kerja asing memperoleh izin kerja dan izin tinggal di Indonesia. Jika izin tersebut tidak segera diterbitkan, pemohon dapat dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Situasi tersebut dimanfaatkan para tersangka untuk meminta uang secara ilegal.
KPK juga menelusuri dugaan bahwa praktik serupa telah berlangsung sejak era Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2009–2014 yang saat itu dijabat Abdul Muhaimin Iskandar, lalu berlanjut pada masa Hanif Dhakiri (2014–2019), dan Ida Fauziyah (2019–2024).
Penyidikan masih berlangsung dan tidak menutup kemungkinan adanya tersangka baru, termasuk dari pihak pemberi maupun aktor di luar lingkup kementerian. (ihd)